Senin, 11 Mei 2015

filsafat kontemporer dan eksistensialisme


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Pengertian Filsafat Kontemporer

Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti‘Philo’adaxslah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi,cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Sedangan kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”.Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang.Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.

            Filsafat Kontemporer juga bisa diartikan dengan cara seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini.

Filsafat kontemporer ini sering dikaitkan dengan posmodernisme, dikarenakan posmodernisme yang berarti “setelah modern” merupakan akibat logis dari zaman kontemporer.Posmodernisme menyaratkan kebebasan, dan tidak selalu harus simetris.Contohnya seni bangunan posmodern tidak terlalu mementingkan aspek keseimbangan dalam bentuk bangunan, melainkan sesuka hati yang membangun atau yang sesuai request. Kembali lagi kepada pemikiran kontemporer yang beranjak dari seni bangunan tadi, sama halnya dengan itu, pemikiran filsafat kontemporer ini bebas.

 

 

 

Kebebasan dalam memakai teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut merupakan suatu hal original.

Oleh karenanya filsafat kontemporer merupakan ekstensifikasi dari pemikiran manusia dari hal-hal yang umum menjadi yang sangat khusus dan terkait dengan hal khusus lainnya.

1.      Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer  Barat

  Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak.

 Pertama,tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional.

Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi.Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.

Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan.Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis.

Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)

 

Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.

            Tipologi ini diwakili oleh Nietzche (1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya.Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern.Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.

 

2.      Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer  Islam

Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing.Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang.Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah.Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik.Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu.Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama.Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.

Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme.Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.Datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam.

            Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.

            Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan.

Ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat.Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.

 

3.      Pilar  Pilar Filsafat Kontemporer

Filsafat  telah melahirkan apresiasi dan respon yang besar dalam sejarah pemikiran dan memunculkan pilar – pilar Filsafat Kontemporer.

Pilar yang pertama adalah etika, di mana merupakan hasil dari refleksi moralitas yang kemudian melahirkan aliran-aliran filsafat yang dikembangkan oleh para filosof.Dalam memahami etika sebagai suatu ajaran tentang seni hidup, atau menempatkan sebagai kebahagiaan ke pusat etika (Aristoteles), dan kemudian pemikiran ini direligiuskan oleh Thomas Aquinas.Dan Imanuel Kant menjadikan etika yang semula seni kehidupan menjadi etika kewajiban, dan ini melahirkan konsep sentral etika modern, yaitu konsep otonomi moral.Pemikiran ini lebih lanjut, kemudian dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel dan dipadukan dengan teori dialektikanya.

Pilar yang kedua adalah fenomenologi, dengan tokoh sentralnya Edmund Hussel (1859-1938) fenomenologi merupakan salah satu dari arus pemikiran yang paling berpengaruh pada Abad ke-20.Secara umum fenomenologi lahir dari persoalan fenomena yang dibawa ke ruang publik --pertama kali-- oleh Hegel dengan ruh absolutnya.Husserl lalu mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang penampakan (fenomena), dan bagi Husserl berbicara tentang esensi di luar eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal inilah yang membedakan fenomenologi Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan Kant.Para filosof yang terpengaruh oleh fenomenologi adalah Derrida, Kierkegard, Cascirer.

Pilar yang ketiga adalah eksisitensialisme. Eksistensialisme tidak lagi membahas pertanyaan-pertanyaan esensi dan kodrat, akan tetapi lebih menekankan masalah seputar eksistensi. Seorang filosof eksistensialis, semisal Sartre, bekerja keras dalam permasalahan esensi dan eksistensi, yang kemudian memunculkan sebuah tesis bahwa "eksistensi mendahului esensi".Dan ini membalik tradisi pemikiran filsafat Barat sejak Plato, yang selalu mengatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Pilar yang ke empat adalah filsafat budaya. Jika dilihat dari sudut pandang filosofis akan melahirkan dimensi subyektif dan obyektif. Di mana dimensi subyektif adalah daya yang menjadikan produk (alam) menjadi produk yang lebih baik, sedangkan dimensi obyektif adalah hasil dari kegiatan daya tadi.

 

 

 

B.            Pengertian Filsfat Eksistensialisme   

Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto = berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya.Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya.Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.

Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya.Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.

Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

 

1.      Latar belakang lahirnya eksistensialisme

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis.Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain.

 

 Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

a.         Materialisme

Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.

b.         Idealisme

Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

c.         Situasi dan Kondisi Dunia

     Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu.Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual.Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

 

 

 

 

2.      Ciri Aliran Eksistensialisme

Eksistensialismemerupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkanpemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat barat.Istilah eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada penganutnya.

Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme sebagai berikut :

a.  Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.

b. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.

c.   Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.

d.  Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.

e.  Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.

f.  Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

 

3. Tokoh-tokoh eksistensialisme

a.       Soren Aabye Kiekegaard

Søren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teologabad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafateksistensialisme.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.

Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

b.      Friedrich Nietzsche

       Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

 

 

 

 

 

 

c.       Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d.      Martin Heidegger

Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928.Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

e.       Jean Paul Sartre

       Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis.Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.

Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.

       Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris).

Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir.Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.

       Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya.Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

 

 

 

 



 

filsafat kontemporer dan eksistensialisme


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Pengertian Filsafat Kontemporer

Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti‘Philo’adaxslah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi,cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Sedangan kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”.Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang.Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.

            Filsafat Kontemporer juga bisa diartikan dengan cara seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini.

Filsafat kontemporer ini sering dikaitkan dengan posmodernisme, dikarenakan posmodernisme yang berarti “setelah modern” merupakan akibat logis dari zaman kontemporer.Posmodernisme menyaratkan kebebasan, dan tidak selalu harus simetris.Contohnya seni bangunan posmodern tidak terlalu mementingkan aspek keseimbangan dalam bentuk bangunan, melainkan sesuka hati yang membangun atau yang sesuai request. Kembali lagi kepada pemikiran kontemporer yang beranjak dari seni bangunan tadi, sama halnya dengan itu, pemikiran filsafat kontemporer ini bebas.

 

 

 

Kebebasan dalam memakai teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut merupakan suatu hal original.

Oleh karenanya filsafat kontemporer merupakan ekstensifikasi dari pemikiran manusia dari hal-hal yang umum menjadi yang sangat khusus dan terkait dengan hal khusus lainnya.

1.      Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer  Barat

  Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak.

 Pertama,tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional.

Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi.Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.

Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan.Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis.

Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)

 

Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.

            Tipologi ini diwakili oleh Nietzche (1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya.Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern.Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.

 

2.      Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer  Islam

Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing.Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang.Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah.Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik.Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu.Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama.Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.

Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme.Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.Datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam.

            Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.

            Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan.

Ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat.Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.

 

3.      Pilar  Pilar Filsafat Kontemporer

Filsafat  telah melahirkan apresiasi dan respon yang besar dalam sejarah pemikiran dan memunculkan pilar – pilar Filsafat Kontemporer.

Pilar yang pertama adalah etika, di mana merupakan hasil dari refleksi moralitas yang kemudian melahirkan aliran-aliran filsafat yang dikembangkan oleh para filosof.Dalam memahami etika sebagai suatu ajaran tentang seni hidup, atau menempatkan sebagai kebahagiaan ke pusat etika (Aristoteles), dan kemudian pemikiran ini direligiuskan oleh Thomas Aquinas.Dan Imanuel Kant menjadikan etika yang semula seni kehidupan menjadi etika kewajiban, dan ini melahirkan konsep sentral etika modern, yaitu konsep otonomi moral.Pemikiran ini lebih lanjut, kemudian dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel dan dipadukan dengan teori dialektikanya.

Pilar yang kedua adalah fenomenologi, dengan tokoh sentralnya Edmund Hussel (1859-1938) fenomenologi merupakan salah satu dari arus pemikiran yang paling berpengaruh pada Abad ke-20.Secara umum fenomenologi lahir dari persoalan fenomena yang dibawa ke ruang publik --pertama kali-- oleh Hegel dengan ruh absolutnya.Husserl lalu mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang penampakan (fenomena), dan bagi Husserl berbicara tentang esensi di luar eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal inilah yang membedakan fenomenologi Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan Kant.Para filosof yang terpengaruh oleh fenomenologi adalah Derrida, Kierkegard, Cascirer.

Pilar yang ketiga adalah eksisitensialisme. Eksistensialisme tidak lagi membahas pertanyaan-pertanyaan esensi dan kodrat, akan tetapi lebih menekankan masalah seputar eksistensi. Seorang filosof eksistensialis, semisal Sartre, bekerja keras dalam permasalahan esensi dan eksistensi, yang kemudian memunculkan sebuah tesis bahwa "eksistensi mendahului esensi".Dan ini membalik tradisi pemikiran filsafat Barat sejak Plato, yang selalu mengatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Pilar yang ke empat adalah filsafat budaya. Jika dilihat dari sudut pandang filosofis akan melahirkan dimensi subyektif dan obyektif. Di mana dimensi subyektif adalah daya yang menjadikan produk (alam) menjadi produk yang lebih baik, sedangkan dimensi obyektif adalah hasil dari kegiatan daya tadi.

 

 

 

B.            Pengertian Filsfat Eksistensialisme   

Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto = berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya.Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya.Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.

Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya.Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.

Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

 

1.      Latar belakang lahirnya eksistensialisme

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis.Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain.

 

 Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

a.         Materialisme

Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.

b.         Idealisme

Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

c.         Situasi dan Kondisi Dunia

     Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu.Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual.Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

 

 

 

 

2.      Ciri Aliran Eksistensialisme

Eksistensialismemerupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkanpemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat barat.Istilah eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada penganutnya.

Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme sebagai berikut :

a.  Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.

b. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.

c.   Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.

d.  Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.

e.  Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.

f.  Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

 

3. Tokoh-tokoh eksistensialisme

a.       Soren Aabye Kiekegaard

Søren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teologabad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafateksistensialisme.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.

Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

b.      Friedrich Nietzsche

       Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

 

 

 

 

 

 

c.       Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d.      Martin Heidegger

Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928.Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

e.       Jean Paul Sartre

       Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis.Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.

Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.

       Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris).

Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir.Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.

       Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya.Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.