BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Filsafat Kontemporer
Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari
Yunani, Philoshopia, yang berarti‘Philo’adaxslah Cinta, sedangkan ‘shopia’
berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi,cinta pada
kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari
segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya
berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sedangan
kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”.Dua
kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah
semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang
sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang.Karena tidak ada
kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak
bisa disebut kontemporer.
Filsafat Kontemporer juga bisa
diartikan dengan cara seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam
menyangkut kehidupan pada masa saat ini.
Filsafat
kontemporer ini sering dikaitkan dengan posmodernisme, dikarenakan
posmodernisme yang berarti “setelah modern” merupakan akibat logis dari zaman
kontemporer.Posmodernisme menyaratkan kebebasan, dan tidak selalu harus
simetris.Contohnya seni bangunan posmodern tidak terlalu mementingkan aspek
keseimbangan dalam bentuk bangunan, melainkan sesuka hati yang membangun atau
yang sesuai request. Kembali lagi kepada pemikiran kontemporer yang beranjak
dari seni bangunan tadi, sama halnya dengan itu, pemikiran filsafat kontemporer
ini bebas.
Kebebasan
dalam memakai teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut
merupakan suatu hal original.
Oleh
karenanya filsafat kontemporer merupakan ekstensifikasi dari pemikiran manusia
dari hal-hal yang umum menjadi yang sangat khusus dan terkait dengan hal khusus
lainnya.
1. Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer Barat
Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca
Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep
sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya
pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang
terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa
aliran pemikiran yang dominan yang semarak.
Pertama,tipologi strukturalisme. Tipologi ini
memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana
fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang
menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti
bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada
wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri
differensial atau pun relasional.
Tipologi
ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat
ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi.Dia adalah tokoh kunci dari generasi
strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem,
pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat
dengan landasan yang lebih kental.
Selanjutnya,
bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat
kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan.Khususnya bagi kaum
teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis.
Selain
para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser
(1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)
Tipologi
kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas
pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber
subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal
yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang
subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan
tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tipologi ini diwakili oleh Nietzche
(1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan
mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.Selanjutnya
adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog
yang paling cemerlang pada masanya.Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini
merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak
pemikiran yang sangat berbeda.Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan
sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern.Para
filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir
seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.
2. Aliran Pemikiran Filsafat Kontemporer Islam
Filsafat
di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya
asing.Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang.Di dunia Islam
timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan
kitabnya Tahafut al-falasifah.Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat
setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat
paripatetik.Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para
Mullah, Iran, sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu.Maka
kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai
pendekar filsafat gnostik Persia ternama.Kemudian Islam mengalami masa
skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.
Islam
terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan
disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan
Nasionalisme.Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala
itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.Datangnya Napoleon merupakan
titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam.
Kemudian muncullah para pemikir
rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka
sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan
penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
Gerak radikal pemikiran barat yang
menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan
berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh
dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia
Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan
cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari
stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan
telah menjadi Tuhan.
Ideologi
yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami
secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran
Barat.Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam
sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan
pembaharuan.
3. Pilar Pilar Filsafat
Kontemporer
Filsafat telah melahirkan apresiasi dan respon yang
besar dalam sejarah pemikiran dan memunculkan pilar – pilar Filsafat
Kontemporer.
Pilar
yang pertama adalah etika, di mana merupakan hasil dari refleksi moralitas yang
kemudian melahirkan aliran-aliran filsafat yang dikembangkan oleh para
filosof.Dalam memahami etika sebagai suatu ajaran tentang seni hidup, atau
menempatkan sebagai kebahagiaan ke pusat etika (Aristoteles), dan kemudian
pemikiran ini direligiuskan oleh Thomas Aquinas.Dan Imanuel Kant menjadikan
etika yang semula seni kehidupan menjadi etika kewajiban, dan ini melahirkan
konsep sentral etika modern, yaitu konsep otonomi moral.Pemikiran ini lebih
lanjut, kemudian dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel dan dipadukan
dengan teori dialektikanya.
Pilar
yang kedua adalah fenomenologi, dengan tokoh sentralnya Edmund Hussel
(1859-1938) fenomenologi merupakan salah satu dari arus pemikiran yang paling
berpengaruh pada Abad ke-20.Secara umum fenomenologi lahir dari persoalan
fenomena yang dibawa ke ruang publik --pertama kali-- oleh Hegel dengan ruh
absolutnya.Husserl lalu mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang
penampakan (fenomena), dan bagi Husserl berbicara tentang esensi di luar
eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal inilah yang membedakan fenomenologi
Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan Kant.Para filosof yang terpengaruh
oleh fenomenologi adalah Derrida, Kierkegard, Cascirer.
Pilar
yang ketiga adalah eksisitensialisme. Eksistensialisme tidak lagi membahas
pertanyaan-pertanyaan esensi dan kodrat, akan tetapi lebih menekankan masalah
seputar eksistensi. Seorang filosof eksistensialis, semisal Sartre, bekerja
keras dalam permasalahan esensi dan eksistensi, yang kemudian memunculkan
sebuah tesis bahwa "eksistensi mendahului esensi".Dan ini membalik
tradisi pemikiran filsafat Barat sejak Plato, yang selalu mengatakan bahwa
esensi mendahului eksistensi.
Pilar
yang ke empat adalah filsafat budaya. Jika dilihat dari sudut pandang filosofis
akan melahirkan dimensi subyektif dan obyektif. Di mana dimensi subyektif
adalah daya yang menjadikan produk (alam) menjadi produk yang lebih baik,
sedangkan dimensi obyektif adalah hasil dari kegiatan daya tadi.
B.
Pengertian Filsfat Eksistensialisme
Kata
Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau
sisto = berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam
keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan
oleh akunya.Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai
miliknya.Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan -
merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran
filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada
eksistensinya.Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat
lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat
yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,
tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi
(berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan
pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
1. Latar
belakang lahirnya eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu
krisis.Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau
kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan
demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain.
Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir
dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada
sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
a. Materialisme
Menurut pandangan materialisme,
manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang
orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi
mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya,
pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata
lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
b. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya
sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan
kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan
dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
c. Situasi dan
Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia
Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia
tidak menentu.Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau
mual.Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil
persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.Manusia
berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan
manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di
tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.
2. Ciri
Aliran Eksistensialisme
Eksistensialismemerupakan gerakan yang sangat erat dan
menunjukkanpemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan
filsafat barat.Istilah eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem
filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara
para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas
aliran ini yang tampak pada penganutnya.
Mengidentifikasi
ciri aliran eksistensialisme sebagai berikut :
a. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap
rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b. Eksistensialisme
adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat
akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
c. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam
yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi,
serta gerakan massa.
d. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan
totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau
menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
e. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek
(harapan) manusia di dunia.
f. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama
eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
3. Tokoh-tokoh eksistensialisme
a. Soren Aabye
Kiekegaard
Søren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November1855 pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teologabad ke-19 yang
berasal dari Denmark.
Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi
sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafateksistensialisme.
Banyak dari karya-karya
Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman,
lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu
ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya
Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena
ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang
seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis
dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara
apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya
sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini,
adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu
yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan
menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi
ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia
cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
b. Friedrich
Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak.
Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan
menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia
kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang
menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar
akan dirinya sendiri. Ada
dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
d. Martin
Heidegger
Martin
Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei
1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.Ia belajar di
Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan
kemudian menjadi profesor di sana 1928.Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German
Sein und Zeit, 1927).
Inti pemikirannya adalah keberadaan
manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar
manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar
manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena
benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap
tindakan dan tujuan mereka.
e. Jean Paul
Sartre
Jean-Paul
Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris,
15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis
Perancis.Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre
menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.
Manusia
tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak.
Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais
(Paris).
Upacara
pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.Pasangannya adalah seorang
filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir.Sartre banyak meninggalkan karya
penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Inti
pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya.Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar
dan bebas bagi diri sendiri.